M. Asad Shahab: Sosok Dibalik Penyebaran Proklamasi Kemerdekaan Ke Dunia Arab
Pembacaan Teks Proklamasi
Perjuangan pencapaian pengakuan kedaulatan Indonedia pada tanggal 27 Desember 1949 bukan merupakan perjuangan yang sederhana dan mudah. Ada tiga bentuk perjuangan yang harus diraih oleh bangsa Indonesia sebelum pengakuan tersebut. Pertama, perjuangan militer oleh TNI yang dipimpin oleh Jenderal Sudirman atau Tan Malaka sebagai pemimpin gerakan sosial revolusioner yang bergaya Marxis. Kedua, melalui cara diplomasi yang dilakukan oleh Hatta, Syahrir dan Mohammad Roem. Dan yang terakhir, yaitu melalui pers yang menyebarkan berita ke dunia internasional tentang proklamasi kemerdekaan Negara Idonesia.
Ketika Proklamasi Kemerdekaan diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno – Hatta, berita tersebut tersebar dengan cepat di seluruh penjuru Indonesia berkat penyiaran berita melalui tiga kantor berita yang sudah berdiri sebelum kemerdekaan, yaitu Antara, Domei dan Reuter. Antara sendiri dibentuk pada tahun 1937 oleh para pejuang kemerdekaan, seperti A.M. Sipahoetar, Mr. Soemanag dan Adam Malik. Sedangkan, kantor berita Domei dibentuk oleh Jepang, tetapi para wartawannya ialah orang-orang dari Antara sendiri dan kantor berita Reuter merupakan bentukan Inggris. Tetapi ketiga kantor berita tersebut memiliki keterbatasan masing-masing. Jangkauannya hanya terbatas di dalam negeri saja, Domei dikontrol oleh Jepang dan Reuter berpihak pada kekuatan sekutu yang menjadi kendaraan bagi pendudukan Indonesia oleh Belanda.
Lalu sehari setelah diangkat sebagai Presiden, Soekarno membuat maklumat kepada segenap rakyat Indonesia. Intinya, dia sangat berharap kepada orang-orang di sekitarnya untuk bisa menjalin suatu hubungan yang luas dengan dunia internasional. Soekarno juga menyatakan pentingnya membentuk suatu kantor berita yang dapat menghubungkan Indonesia dengan negara-negara Asia dan Afrika. Hal tersebut bertujuan untuk mempengaruhi pikiran rakyat dan menentang segala usaha Belanda yang tetap ingin tinggal di Indonesia.
Asad Shahab salah seorang jurnalis yang hadir dalam pertemuan tersebut, berpikir bahwa dirinya dapat berbuat sesuatu seperti apa yang diharapkan Soekarno. Dia adalah seorang jurnalistik sejak 1936 yang sangat aktif dan membuatnya punya banyak jaringan hingga ke luar negeri, khususnya Timur Tengah. Pada 1938-1942, dia tercatat sebagai kontributor media berbahasa Arab, al-Mughatttan, di Mesir.
. Asad Shahab muda | detik.com
Bersama kakaknya, M. Dzya Shahab dan sahabatnya Husein Alhabsyi, dia membentuk kantor berita berbahasa Arab. Asad dan tim setuju menamai kantor berita tersebut dengan Arabian Press Board (APB) dan resmi berdiri 19 hari setelah Proklamasi Kemerdekaan, tepatnya tanggal 2 September 1945. Menurut wartawan senior, Solichin Salam di koran Angkatan Bersenjata terbitan 1 September 1993, kata ‘Arabian’ sendiri sengaja digunakan untuk menarik perhatian dunia Islam serta negara-negara di Timur Tengah serta untuk mengelabui pihak Sekutu dan Belanda.
Bagi cendekiawan M. Dawam Rahardjo, sosok Asad Shahab bukan sekedar wartawan biasa. Dia sekaligus berperan sebagai diplomat yang bergaul dengan tokoh-tokoh nasional Indonesia dari semua kalangan ideologi, baik nasionalis, kalangan partai Islam, sosialis, sekuler dan komunis. Di dunia Arab, Asad Shahab berkomunikasi politik dengan tokoh-tokoh seperti Presiden Tunisia Habib Bourguiba, Jamal Abdul Naseer (Mesir), Ibnu Suud dan Amir Faisal (Arab Saudi).
Tak cuma menulis artikel untuk surat kabar, Asad Shahab juga menulis puluhan buku yang semuanya diterbitkan di Lebanon sebagai pusat penerbitan buku berbahasa Arab.
“Masyarakat Timur Tengah mengenal Indonesia dan sejarah Indonesia dari buku-buku yang beliau tulis.” Jelas Jalaludin Rakhmat selaku pakar ilmu komunikasi yang juga cendekiawan muslim.
Jalaludin juga menambahkan, dari buku-buku yang ditulisnya Asad Shahab dapat disimpulkan bahwa Asad Shahab adalah seorang juru catat sejarah perjuangan Indonesia. Lelaki kelahiran Jakarta, 23 September 1910 yang pernah kuliah di bidang publisistik ini menulis soal sejarah masuknya Islam di Indonesia. Asad Shahab juga menulis soal perkembangan komunisme di Indonesia termasuk meletusnya Gerakan 30 September 1965.
Kantor berita APB sendiri tidak hanya menyiarkan beritanya dalam bahasa Indonesia, tetapi dengan bahasa Arab dan Inggris. APB berjasa menyiarkan serta memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia dibelahan negara dunia, khususnya negara-negara Arab dan Islam. Dari jasa dan perjuangan APB inilah kemudian meluas pengakuan dan dukungan atas kemerdekaan Indonesia, dari negara-negara Mesir, Saudi Arabia, Iraq, Pakistan, India, hingga Jerman, Inggris, Perancis dsb.
Asad Shahab juga dikenal sebagai salah seorang bapak pendiri bangsa Indonesia. Pasalnya, dia sangat berjasa dalam memberitakan proses perjuangan bangsa Indonesia melawan imperialisme dalam mempertahankan kemerdekaan RI dan memperoleh pengakuan kedaulatan oleh dunia internasional.
Kado Istimewa Bangsa Arab untuk Indonesia
Abdurrahman Azzam Pasya masihduduk terpekur di hadapan meja kerjanya.Raut muka Sekjen Liga Arab itu nampak serius. Di atas pelataran mejanya, berserakan dokumen-dokumen penting. Ada satu benda yang menarik perhatiannya, secarik kertas tergulung rapi: peta dunia.
Orang nomor satu di perhimpunan negara-negara Arab ini membuka gulungan peta itu. Ditatapnya lamat-lamat, matanya beredar ke sana kemari. Sambil menghela nafas, ia tak menemukan nama tempat yang dia cari: INDONESIA.
Indonesia? Di manakah negeri itu berada?Sambil menerawang peta, Azzam lagi-lagi menggelengkan kepalanya yang berbalut peci tarbus.Ia menyerah, bersandar di punggung kursinya. Di manakah negeri yang kabarnya baru merdeka?
Mengapa tak ada Indonesia dalam peta? Padahal beberapa masih ingat dalam benaknya, beberapa harian terkemuka dimesir memuat tentang kemerdekaan Indonesia.
Belum lagi, Mufti Palestina Syaikh Amin Al Husaini mengucapkan selamat kepada negeri nun di Timur sana. Masih ingat pula dalam benaknya, pengusaha kesohor Palestina M Ali Tahir menegaskan kepada para mahasiswa,” Saya serahkan seluruh harta saya untuk kemerdekaan Indonesia.”
Syaikh Amin Al Husseini. Sumber foto: Wikipedia
Sejak saat itu, Azzam serius meminta laporan-laporan perkembangan Indonesia kepada para mahasiswa dan juga warga Arab yang simpati pada perjuangan Indonesia.
“Saya kumpulkan semua laporan yang masuk ke meja saya soal perang perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia yang ssekarang dipimpin oleh Soekarno dan Hatta melawan Belanda.Saat itu jumlah penduduk Indonesia sekitar 70 juta jiwa,” kenang Azzam dalam Jauh di Mata Dekat di Hati, Potret Hubungan Indonesia-Mesir.
Indonesia, yang saat itu masih berjuang dalam sunyi masih belum dikenal di kancah global terus menyuarakan suara minor di tengah dunia internasional. Saat dunia membisu menatap penjajahan di Indonesia, Azzam Pasya justru semakin mendekat ke negeri yang terpisah ribuan kilometer.
“Saya akui bahwa ketika ditunjuk sebagai Sekretaris Jenderal Liga Arab pada 1945, saya tidak tahu banyak tentang Indonesia. Pengetahuan saya mengenai Indonesia sangat terbatas.Tidak lebih dari yang saya baca dari buku-buku atau koran-koran internasional,” Azzam mengenang saat itu.
Abdurrahman ‘Azzam Pasha.’
Setelah membaca semua laporan yang masuk ke meja kerjanya mengenai perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, Azzam mulai memahami persoalan Indonesia dengan baik.
Hasil dari pengetahuannya mengenai Indonesia membuat Azzam terketuk hatinya untuk membantu perjuangan rakyat Indonesia dalam rangka mempertahankan kemerdekaan.
Kini, Azzam mendekat ke peta, ia melihat negeri dengan beragam pulau, tapi tak ada nama Indonesia di sana. Juzur al Hindi al Hulandiyyah as Syarqiyyah tertera di sana: Kepulauan Hindia Belanda Timur. Sambil tersenyum simpul, ia bersumpah akan membantu saudaranya di seberang lautan sana.
Azzam pun bersua dengan para pejabat tinggi Mesir.Secara khusus, Azzam bertemu dengan Perdana Menteri Mesir yang juga Menteri Luar Negeri Mesir, Mahmud Fahmi Nokrasyi.
”Bagaimana pendapat Yang Mulia seandainya kita memberi dukungan atas perjuangan bangsa Indonesia?” kata Azzam.
“Yang Mulia, bangsa Indonesia adalah bangsa muslim yang sedang berjuang untuk merebut kemerdekaannya kembali dari tangan penjajah Belanda. Menurut pendapat saya, kalau bangsa ini memperoleh dukungan dan bantuan sepenuhnya dari bangsa negeri-negeri Arab dan Islam, pasti sesudah merdeka mereka akan mempunyai pengaruh dan peranan dalam perimbangan kekuatan di dunia, menggantikan Jepang yang sudah menyerah kalah,” kata Azzam.
Tatapan matanya semakin mantap.Memang hanya impian, negeri itu kelak akan memiliki peranan penting. Harapan yang seolah tak masuk akal. Bagaimana mungkin, negeri yang tak diakui di mana pun kelak akan menjadi negeri yang berperan besar, khususnya untuk Islam dan kaum muslimin?
Tapi disitulah Azzam berharap. Negeri yang kini sendirian kelak tak lagi sendiri. Akan ada banyak saudara seperjuangan yang siap membantunya.
Perdana Menteri Nokrasyi tersenyum simpul.
“Tapi, Indonesia itu jauh letaknya. Indonesia berada di Timur Jauh dekat dengan Australia bukan?”
Dengan sorot mata yang tak berubah, Azzam meyakinkan.
“Yang Mulia, jarak antara kita dengan Indonesia bukan masalah.Menurut saya, Negara-negara Arab bisa menjalin hubungan yang erat dengan bangsa Indoensia yang mayoritas beragama Islam,” tegasnya.
“Jika kita memberikan bantuan kepada bangsa Indonesia dalam peperangan melawan Belanda, saya yakin mereka tidak akan lupa saat mereka merdeka nanti.Pastilah mereka akan mengingat kebaikan kita ini dan akan membantu perjuangan kita menghadapi tentara Inggris dan perjuangan membebaskan tanah Arab yang masih dalam pendudukan bangsa lain,” tegasnya.
Kedua orang itu saling menatap. Nokrasyi tak berkata apapun. Suasana mendadak hening. Sorot mata Abdurrahman mengatakan semuanya. Kelak, semoga Indonesia menjadi negeri yang tak melupakan sejarah, berjuang membebaskan bangsa lain yang masih terjajah.
“Saya yakin mereka tidak akan lupa saat mereka merdeka nanti. Pastilah mereka akan mengingat kebaikan kita ini membebaskan tanah Arab yang masih dalam pendudukan bangsa lain,”
Nokrasyi hanya berpesan agar diberikan data-data tentang Indonesia. Ia belum bisa menjanjikan apapun. Azzam pun tak berdiam diri, ia terus mendatangi pejabat-pejabat negara Arab. Secara khusus, Azzam pun mendatangi lingkungan Raja Mesir saat itu, Raja Faruq.
“Yang penting bagi saya, Raja setuju bahwa Mesir memberikan bantuan yang diperlukan oleh Indonesia.Setelah itu, saya akan menghubungi negara-negara Arab lainnya untuk memperoleh dukungan atas apa yang saya lakukan,” tegas Azzam.
Bak gayung bersambut, telepon tua di kantor Azzam pun berdering. Suara parau di balik sana sudah sangat dikenal Azzam. Ia terkaget-kaget rupanya Raja Mesir yang langsung menelepon dirinya.
“Apa yang paling diperlukan Indonesia?,” tanya Raja Faruq tanpa tedeng aling.
Selain pengakuan kedaulatan, jawab Azzam, yang paling dibutuhkan adalah senjata. Namun, jika ditambah dengan pengiriman sukarelawan dari negara-negara Arab, maka itu lebih baik.
Raja Faruk pun memberikan persetujuan.
“Seluruh senjata biar dikirim dari Mesir.Adapun sukarelawan, dikirim dari negara-negara Arab,” tegas.
Tetiba saja mata Azzam berkaca-kaca. Ia tak tahu mengapa ia menangis. Padahal, Indonesia saja baru-baru ini dia dengar. Melihatnya saja belum pernah. Menggenggam tanahnya apa lagi. Tapi entah mengapa, ada harapan yang terbesit begitu saja.
“Seluruh senjata biar dikirim dari Mesir. Ada pun sukarelawan (berperang), dikirim dari negara-negara Arab,”
Rasa yang sulit diungkapkan.Seakan saudara yang sudah lama tak bersua. Seakan begitu dekat, dekat sekali, bahwa Arab dan Indonesia saling bertaut. Aneh memang, bahkan para pemimpinnya pun tak pernah saling bertatap, tapi mengapa seakan terasa sangat dekat.Dekat sekali.
Keseriusan Azzam berlanjut pada Sidang Liga Arab pertama, sepenggal Rabu dipenghujung 1945. Untuk pertama kali dalam sejarah, sepucuk surat dari panitia Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia dibacakan di hadapan para pemimpin Arab.
Istana Qasr Za’faran menjadi saksi bahwa para negara Arab bertekad untuk membantu secara konkret kemerdekaan Indonesia. Pemimpin sidang yang saat itu Mahmud Fahmy Nokrasyi membacakan surat dari Indonesia pertama kali di hadapan para pemimpin Arab.
“Situasi di Indonesia semakin gawat. Sehubungan dengan digelarnya Sidang Liga Arab, kami menantikan dukungan konkret dari negara-negara Arab dan pengakuan terhadap Republik Indonesia yang merdeka. Kami juga mengharap Inggris tidak membantu Belanda dan tidak ikut campur urusan Indonesia.
Tertanda
Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia”
Ruangan terhentak sejenak. Isu kemerdekaan Indonesia sekejap menjadi Headline Negeri-negeri Arab. Abdurrahman Azzam tak perlu menunggu waktu lama. Segera ia menghubungi Pemerintah Inggris melalui kedutaannya di Kairo.
Ia meminta Inggris tidak membantu Belanda sehingga Inggris tidak dituduh oleh bangsa Islam dan Arab bersikap ta’ashshub (fanatik) dalam menentang kaum Muslim.
Azzam mengatakan kepada salah seorang diplomat Inggris di Kairo bahwa ia tidak akan ragu-ragu meminta negara-negara Arab untuk mengirim sukarelawan guna berjuang bersama para pejuang Indonesia.
Azzam pun segera mengumumkan jihad fisabilillah melawan Belanda dan siapa saja yang membantu Belanda. Setelah itu, Azzam menemui Raja Arab Saudi Abdul Aziz al-Saud ketika Raja itu berkunjung ke Mesir pada 16 Januari 1946.
“Yaa Thawiil al-‘Umri (Yang Mulia), di Timur Jauh ada bangsa muslim yang jumlahnya mencapai 70 juta jiwa. Mereka mengumumkan jihad melawan penjajah Belanda untuk meminta hak-haknya dan meminta hak-haknya dan meraih kemerdekaannya.” kata Azzam kepada pendiri Kerajaan Saudi ini.
Raja Saudi pertama ini meminta keterangan tambahan Azzam tentang perang kemerdekaan itu, lalu mengatakan:
“Ketahuilah, Ya Abdurrahman, bahwa saya dan negeri saya siap membantu bangsa Muslim itu!”
Azzam kemudian menjelaskan bahwa yang diminta bangsa Indonesia adalah senjata dan pengajuan masalah Indonesia ke Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Raja Aziz al-Saud lantas menegaskan, “Ya, Abdurrahman, apapun yang mereka minta, saya siap melakukannya.”
Pertemuan berakhir dengan kesepakatan bahwa pengiriman senjata menjadi tanggung jawab Mesir, sedangkan biaya pengangkutan senjata menjadi tanggung jawab Arab Saudi.
Setelah mendapat dukungan dari para Raja kerajaan Arab, Azzam pun bertekad untuk segera mengirimkan bantuan kepada Indonesia.Ditatapnya lamat-lamat peta di hadapanya. Ia tuliskan nama Indonesia.
“Harus..harus ada perwakilan liga Arab yang datang langsung ke Indonesia,” gumannya. Ia pun bertekad mengutus perwakilan bangsa Arab datang menyatakan dukungannya kepada Indonesia.Sebuah kado, kado istimewa untuk Indonesia dari bangsa Arab.
Kelak sejarah akan mencatat bagaimana perwakilan Liga Arab, M Abdul Mun’im menembus blokade, bertaruh nyawa, menyelusup ke negeri ini menyampaikan segenggam pesan sederhana: Negeri Ini Tidak Sendiri Bung!
Berbilang tahun, tak ada lagi kesendirian. Namanya tercetak gagah di peta-peta dunia. Tak sulit lagi menemukan Indonesia. Kado yang begitu istimewa dari Arab. Namun, berpuluh tahun kemudian, masih ada amanat yang belum tertunai.
Harapan Azzam akan negeri ini. Harapan akan perannya suatu saat kelak, membebaskan negeri-negeri terjajah. Negeri-negeri yang nun jauh di sana, yang mungkin masih berpeluh dalam kesendirian. Semakin tergerus waktu, namanya bahkan dari peta dunia menghilang berganti nama lain.
Sejarah seakan berulang. Akankan negeri ini mengingat ketika masih dalam kesendirian? Ketika satu persatu tangan terulur lembut.
Hari ini, kita menyaksikan berkumpulnya para pemimpin dunia Islam dalam KTT Luar Biasa OKI di negeri ini. Negeri yang dulu bahkan tak ada namanya dalam peta.Negeri yang dulu berjuang dalam sunyi.
Akankah ada kado istimewa untuk Palestina? Atau mereka lupa dengan para pendahulunya?
“Seluruh senjata biar dikirim dari Mesir.Ada pun sukarelawan (berperang), dikirim dari negara-negara Arab,” tegas Raja Faruq.
Biar sejarah yang akan mencatatnya…
Tulisan ini hanyalah cerita pendek yang dihimpun dari data-data tercecer yang dapat dipertanggungjawabkan:
Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri, M Zein Hassan
Jauh di Mata Dekat di Hati, Potret Hubungan Indonesia-Mesir.Tim Kedubes Indonesia untuk Mesir, ed. AM Fachir
Bintang Mahaputra Adipradana untuk Tokoh Pejuang A.R. Baswedan
25 October 2017 by admin
Ada satu hal yang terlewatkan dalam Upacara Penganugerahan Tanda Kehormatan RI di Istana Negara oleh Presiden SBY tahun ini. Tanggal 13/8/13 yang lalu pemerintah memberikan Bintang Tanda Jasa kepada sejumlah tokoh yang dinilai telah memberikan jasa kepada Negara melalui Keppres no. 57/TK/2013. Dari 11 penerima Bintang Mahaputra Adipradana, — tanda penghargaan tertinggi diantara penghargaan lainnya yang diberikan pada hari itu�ada satu nama yang layak dibicarakan, yakni almarhum Abdul Rahman Baswedan (1908-1986) selaku tokoh pejuang dari D.I. Yogyakarta. Bintang Mahaputra Adipradana adalah tanda kehormatan yang diberikan Presiden kepada seseorang yang dinilai mempunyai jasa besar terhadap bangsa dan Negara Indonesia. Hadir menerima penghargaan selaku wakil keluarga Baswedan adalah putranya: Dr Samhari Baswedan dan cucunya: DR Anies Baswedan (Rektor Universitas Paramadina). Mereka berdua didampingi pihak pengusul (Yayasan Nabil), yakni Bapak Eddie Lembong dan Ibu Melly Saliman.
Siapakah A.R. Baswedan? Ia adalah seorang Nation Builder (Pembangun Bangsa) berlatar belakang keturunan Arab, yang sejak semula memiliki cita-cita meng-Indonesia. Untuk itu, tanggal 4 Oktober 1934 Baswedan dan kawan-kawannya menyelenggarakan �Sumpah Pemuda Keturunan Arab�, yang menegaskan bahwa tanah air peranakan Arab adalah Indonesia. Di masa pergerakan nasional, Baswedan berjuang secara politik melalui Partai Arab Indonesia (PAI) yang didirikannya di tahun 1934, sebagai hasil dari interaksinya dengan Liem Koen Hian, pendiri Partai Tionghoa Indonesia (1932) yang pro pada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Baswedan juga salah satu Founding Father (Bapak Bangsa) Republik Indonesia, karena keikutsertaannya dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), badan yang merancang Undang-undang Dasar 1945. Ia diangkat sebagai Menteri Muda Penerangan dalam Kabinet Syahrir III (1946-1947). Terakhir, di bidang diplomasi, Baswedan juga turut memperjuangkan pengakuan diplomatik yang pertama dari Kerajaan Mesir di tahun 1947. Dengan berani ia menyelundupkan dokumen perjanjian diplomatik yang amat penting itu melewati penjagaan Belanda dan menyerahkannya kepada Presiden Soekarno.
Membaca sumbangsih Baswedan yang luarbiasa di atas, Yayasan Nabil merasa terkejut ketika menemukan kenyataan, bahwa hingga hari ini belum ada Pahlawan Nasional dari golongan keturunan Arab! Atas dasar-dasar pertimbangan di atas, Yayasan Nabil tanpa ragu-ragu mengusulkan Almarhum A.R. Baswedan menjadi Pahlawan Nasional. Pengusulan ini telah melewati kajian secara ilmiah melalui rangkaian tiga Seminar Nasional di tahun 2011 yakni di Universitas Airlangga (Surabaya); Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta) dan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya (Jakarta), seperti yang sudah dilaporkan dalam Nabil Forum III (Juli 2011). Alangkah indahnya, bila Baswedan dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, maka semakin cantik dan berwarna-warnilah taman bunga kebangsaan Indonesia. Apalagi sejak tahun 2009 sudah ada Pahlawan Nasional dari golongan Tionghoa, yaitu alm. Laksamana Muda TNI AL (Pur.), John Lie, yang diusulkan sebagai Pahlawan Nasional dari daerah Sulawesi Utara, antara lain karena usulan dari Yayasan Nabil. Walaupun cita-cita menjadikan Abdul Rahman Baswedan sebagai Pahlawan Nasional belum berhasil, namun Yayasan Nabil tetap berkomitmen untuk terus turut serta dalam proses Nation Building Indonesia, termasuk menghargai mereka yang berjasa pada bangsa ini tanpa memandang asal-usulnya. ***
Salim Ali Maskati, Perintis Kemerdekaan Yang Terlupakan
“Siapa lagi kalau bukan kita sendiri.
Dengan demikian sejarah akan mencatat nama kita,
sehingga akan menjadi suri teladan bagi generasi berikutnya”
(Salim Ali Maskati)
Berbicara mengenai kesadaran berbangsa Indonesia pada golongan Keturunan Arab di Indonesia, maka mau tidak mau kita akan menemukan perjuangan Partai Arab Indonesia (PAI), dengan Sumpah Pemuda Keturunan Arab pada tanggal 4 Oktober 1934, di Semarang dimana mereka secara sadar mengakui bahwa Indonesia-lah tanah air mereka. Dan berbicara mengenai PAI, kita sering mendengar nama AR Baswedan sebagai tokoh pendiri PAI, sudah banyak tulisan dan buku yang menulis mengenai sosok AR Baswedan ini dan sepak terjangnya.
Tetapi sebenarnya PAI bukanlah hanya AR Baswedan sendiri. PAI bukan milik AR Baswedan sendiri. Pejuang dan Perintis Kemerdekaan dari golongan Arab bukan hanya Baswedan seorang. Masih banyak sosok lain yang sebenarnya memiliki andil yang cukup besar di dalamnya. Salah satunya adalah Salim Ali Maskati (SAM). Sayangnya masih sangat terbatas referensi yang bisa kita gali mengenai almarhum. Tulisan ini merupakan salah satu ikhtiar awal untuk mengumpulan “memori sejarah” yang terserak dan terlupakan selama ini.
Sangat sedikit informasi yang kita ketahui mengenai sosok Salim Maskati ini, selain beliau merupakan salah seorang dari Perintis Kemerdekaan RI dan merupakan wartawan Indonesia keturunan Arab yang pertamakali, seperti disebutkan oleh AR Baswedan bahwa Almarhum Salim Maskati ini merupakan salah satu dari pribadi yang memiliki “peran” didalam perjalanan lahirnya sosok AR Baswedan sebagai salah satu seorang terdekat didalam perjalanan hidup dan karir AR Baswedan.
Salim Maskati ini aktif di dalam mendirikan PAI bersama dengan AR Baswedan dan didalam perjuangan PAI ia tercatat sebagai Penulis II, secara lengkap kepengurusan PAI awal tahun 1934 adalah sebagai berikut :
Ketua : AR Baswedan
Penulis I : Nuh Alkaf
Penulis II : Salim Maskati
Bendahara : Segaf Assegaf
Komisaris : Abdurrahim Argubi
Tokoh PAI lainnya adalah Hamid Algadri, Ahmad Bahaswan, HMA Alatas, HA Jailani, Hasan Argubi, Hasan Bahmid, A. Bayasut, Syechan Shahab, Husin Bafagih, Ali Assegaf, Ali Basyaib, dll.
Tetapi siapakah sebenarnya almarhum ini ?
Salim Maskati ini lahir di Surabaya pada tahun 1907 dan menurut penuturan AR Baswedan sendiri dalam rekaman kaset wawancara dengan Chaidir Anwar Makarim. Walaupun lahir di Surabaya tetapi almarhum berasal dari daerah Palembang.
Dalam usia yang masih sangat muda yaitu 18 tahun (tahun 1925) ia aktif dalam pergerakan politik bersama PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia). Pada waktu itu ia diserahi Wondoamiseno (lahir di Pasuruan, Jawa Timur, 1891 – meninggal pada tahun 11 Desember 1952, seorang tokoh PSII dan juga mantan Menteri Dalam Negeri Indonesia pada Kabinet Amir Syarifudin I – red.) untuk menerbitkan sebuah surat kabar “Perdamaian” sebagai sebuah media yang membawakan suara PSII. Harian tersebut dicetak di rumah kediaman Wondoamiseno sendiri. Dan dari sinilah, perkenalan awal dengan sebuah dunia jurnalistik telah meninggalkan kesan mendalam di dalam kehidupannya sehingga Salim Maskati memiliki cita-cita untuk memiliki sebuah percetakan sendiri. Dan pada tahun 1927 dari hasil penjualan rumah warisan orang tuanya, Maskati membeli sebuah percetakan yang kemudian digunakan untuk menerbitkan sebuah surat kabar “Lembaga Baroe”. Surat kabar yang diterbitkan secara perorangan, sebagaimana “Perdamaian” yang diterbitkan sebagai usaha untuk meningkatkan kecerdasan dan pengetahuan masyarakat.
Hal tersebut merupakan sebuah langkah “idealis” yang progresif, sekaligus berani dan nekat karena pada masa masanya, ketika seseorang memutuskan untuk menghabiskan hartanya untuk membeli sebuah percetakan dan ikut di dalam usaha menyebarkan ide ide perjuangan, daripada pilihan untuk berdagang dan mengejar keuntungan finansial semata selayaknya golongan keturunan Arab pada masa itu.
Dimana kemudian AR Baswedan bersama saudaranya, Ahmad Baswedan membeli percetakan milik Maskati tersebut (Percetakan Al-Hambra) dan kemudian pada waktu itu diserahkan kepada MBA Alamudi sebagai tokoh IAV (Indo-arabische Verbond) untuk mencetak dan menerbitkan jurnal Al Jaum sebagai media.
Maskati ini disebut sebut sebagai wartawan Indonesia pertama dari golongan keturunan Arab, ia bahkan diakui sebagai merupakan mentor awal dari AR Baswedan dalam bidang tulis menulis atau jurnalistik, diceritakan oleh Hoesin Bafagih didalam sebuah pengantar untuk profil AR Baswedan selaku ketua PAI didalam majalah Aliran Baroe No. 6 Januari 1939 Th II: Ketika pada masa tahun 1920, dimana generasi muda keturunan Arab, baik dari golongan Al-Irsyad dan Ar-Rabithah, keduanya mulai timbul semangat pemberontakan terhadap kelompok tua atau golongan Totok (Wulaiti) yang menurut mereka dipandang sebagai halangan bagi arah kemajuan di dalam mengikuti perobahan zaman, dan lahirlah majalah “Zaman Baroe” dimana Hoesin Bafagih dan Salim Maskati merupakan pemimpin redaksinya. Dan pada waktu itu Baswedan sangat bersemangat untuk ikut menulis di dalam penerbitan tersebut tetapi belum bisa diterima oleh kedua pemimpin redaksi itu.
Surat Kabar Zaman Baroe tersebut diteruskan sendiri oleh Maskati yang menjadi media penyiaran dari Al-Irsyad dan kemudian setelah penerbitan tersebut mati, dilanjutkan denganLembaga Baroe, dimana Baswedan mulai ikut aktif membantu Salim Maskati dan ikut mengisi menulis dengan nama alias Bin Auff al Asrie. Mulai saat itulah kepiawaiannya menulis dan mengarang berita tersalurkan dan semakin berkembang ke arah jurnalisme professional.
Maskati yang pada awalnya merupakan mentor Baswedan akhirnya menjadi sahabat dekat dari AR Baswedan dan bahkan Maskati menulis sebuah tulisan mengenai sosok AR Baswedan yaitu AR Baswedan Boeah Pikiran dan Andjoerannja (Soerabaja 1939).
Setelah PAI dibubarkan dan anggotanya dibebaskan untuk meleburkan diri di dalam partai-partai nasional yang ada, Salim Maskati masuk dalam keanggotaan PNI (Partai Nasional Indonesia) di Malang dan kemudian menjadi Ketua II Dewan Daerah Jamiatul Muslimin Jawa Tengah.
Penghargaan sebagai Perintis Kemerdekaan
Pada tahun 1981, Salim Maskati mendapatkan penghargaan sebagai salah seorang Perintis Kemerdekaan tepat pada usianya yang ke 74. Perintis Kemerdekaan merupakan sebuah penghargaan oleh Pemerintah RI, ditujukan bagi mereka yang telah berjuang mengantarkan bangsa Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan, diakui dan disahkan sebagai Perintis Kemerdekaan dengan Surat Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia. Salah satu kriterianya adalah mereka yang telah menjadi pemimpin pergerakan yang membangkitkan kesadaran kebangsaan / kemerdekaan. Dan Salim Maskati merupakan salah satu dari golongan tersebut.
Pada awalnya bukanlah niat almarhum untuk “meminta” penghargaan tersebut kepada pemerintah atas segala jasa perjuangan dan pengorbanannya, hanya saja waktu itu ia mendapatkan dorongan dari kedua sahabatnya yaitu AR Baswedan dan Doel Arnowo. Didalam acara tasyakuran atas penghargaannya tersebut di Ketapang Besar 28 Surabaya, almarhum mengatakan:
“Sesungguhnya tidak terlintas dalam hati saya bahwa saya telah menerima suatu hadiah yang begitu tinggi nilainya. Padahal saya hanyalah seorang petugas lapangan di tengah gemuruh perjuangan menuju kemerdekaan. Apa yang saya lakukan adalah tugas yang wajar sebagai seorang warga negara yang bertanggung jawab”.
Menurut Penuturan Ustadz Helmi Gana (tokoh Keturunan Arab Surabaya yang sering berdiskusi dengan almarhum selama hidupnya); karena jasa dan pengabdiannya sebagai Perintis Kemerdekaan, setiap tanggal 17 Agustus, Walikota Surabaya selalu menyempatkan untuk mengunjungi kediamannya di Surabaya, bahkan setelah wafatnya. Sebagai bukti penghargaan dan apresiasi pemerintah terhadap jasa-jasanya.
Salim Maskati sempat tinggal di jalan Nyamplungan Gang II No 39 dan pada akhir hidupnya almarhum hidup dengan sangat sederhana, ia hidup dari penghasilan pensiunan sebagai Perintis Kemerdekaan sebesar Rp. 62 ribu dan dibantu dengan penghasilan istrinya sebagai seorang penjahit.
Salim Maskati ini merupakan seorang jurnalis dan penulis aktif, namun sayang banyak hasil karyanya yang sampai sekarang belum ditemukan. Beberapa dari tulisannya yang ada antara lain :
- Indonesia Tumpah Darahku, Naskah Biografi yang diketik di Surabaya 1982
- AR Baswedan Boeah Pikiran dan Andjoerannja, Soerabaja 1939
Selesai