RSS

Kerasnya Bung Karno Dan Lembutnya Bung Hatta

14 Nov

 96f70-k-h

Ketika Bung Karno meringkuk di Sukamiskin, ia mendengar partai yang didirikannya, PNI (Partai Nasional Indonesia) dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang. Demi melukiskan kesedihan hatinya mendengar “anak” yang dilahirkan dan dibesarkannya berantakan, Bung Karno dalam penuturan kepada Cindy Adams mengakui, itulah kali pertama ia menangis sejadi-jadinya.

Alhasil, ketika pada tanggal 31 Desember 1931 Bung Karno dinyatakan bebas menghirup udara lepas, hal pertama yang ia lakukan adalah mengkonsolidasikan para pengikutnya. Saat itu, partainya telah pecah. Hatta dan Sutan Sjahrir mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia, yang singkatannya PNI juga. Sedangkan pengikut Bung Karno yang lain mendirikan Partai Indonesia yang disingkat Partindo.

Para pengurus Partindo menarik-narik Bung Karno masuk Partindo, tetapi Bung Karno menolak sebelum berbicara dengan Hatta. Syahdan, kedua tokoh pergerakan yang di kemudian hari kita kenal sebagai dwitunggal itu pun bertemu. Dalam pertemuan itulah terjadi perdebatan sengit, menyoal cara-cara berjuang mencapai kemerdekaan. Hatta menghendaki pendidikan kader, dan menilai cara-cara yang dilakukan Bung Karno membuat partai tidak bisa stabil. Bung Karno ngotot dengan pendapatnya, bahwa untuk merdeka, rakyat harus disatukan melalui pergerakan.

Saat itulah meluncur statemen Bung Karno tentang pergerakan, yang kemudian mengilhami kuam-kaum pergerakan selanjutnya, bahkan hingga hari ini. Katanya, “Politik adalah machtsoorming dan machtsannwending, pembentukan kekuasan dan pemakaian kekuatan. Dengan tenaga yang terhimpun kita dapat mendesak musuh ke pojok dan kalau perlu menyerangnya.”

sukarno-hatta

Bung Karno menuding, cara-cara pendidikan kader, cara-cara revolusi yang dilandaskan pada teori buku, adalah sebuah landasan revolusioner yang khayal. Bahkan dalam perdebatan sengit tadi Bung Karno sempat mengecam pendirian Bung Hatta dengan mengatakan, “Mendidik rakyat supaya cerdas akan memerlukan waktu bertahun-tahun Bung Hatta… Jalan yang Bung tempuh baru akan tercapai kalau hari sudah kiamat!”

Singkat kata, kedua tokoh pergerakan tadi tidak mencapai kata sepakat dalam hal merumuskan cara perjuangan menuju cita-cita yang sesungguhnya sama: Indonesia merdeka. Bung Hatta lebih soft, sedangkan Bung Karno memilih cara keras. Akhirnya benar, keduanya menempuh jalan masing-masing, dan Bung Karno masuk Partindo pada tanggal 28 Juli 1932. Tak lama kemudian, ia sudah menjadi pemimpin partai itu, dan pergerakan hidup kembali.

Begitulah sosok dwitunggal yang memang berbeda, tetapi sejatinya saling melengkapi. Karena kemudian sejarah mencatat, bahwa Hatta dan Sjahrir-lah yang dapat merangkul kalangan intelektual. Sementara, Bung Karno mengakar di hati rakyat Marhaen yang paling dalam.

Suatu ketika, untuk menggambarkan dua kepribadian dwitunggal itu, Bung Karno pernah menceritakan peristiwa tahun 20-an. Pada suatu waktu, Bung Karno dan Bung Hatta melakukan perjalanan ke suatu tempat, dan satu-satunya penumpang yang lain adalah seorang gadis yang cantik. Di suatu tempat yang sepi dan terasing, ban pecah.

Bung Karno dan pengemudi mencari pertolongan, sementara Hatta dibiarkan di dalam mobil bersama gadis cantik tadi. Apa yang terjadi? Dua jam kemudian ketika pertolongan itu datang, si gadis cantik tampak tengah tertidur di sudut mobil, sedangkan Hatta mendengkur di sudut yang lain.THP

Bung Karno “Hobi” Berteriak

bk

Berulang-kali dokter pribadinya memberi nasihat kepada Bung Karno. Ini terkait dengan sakit ginjalnya, yakin makin para di akhir tahun 60-an. “Kalau Bapak bisa tenang sedikit, dan tidak berteriak-teriak, niscaya Bapak tidak akan mendapat ulcers.” Yang dimaksud dokter adalah peradangan pada lambung akibat sakit ginjalnya itu. Baru saja dokter berhenti memberikan nasihatnya, Bung Karno meradang dan berteriak, “Bagaimana aku bisa tenang kalau setiap lima menit menerima kabar buruk?”

Berteriak adalah “hobi” Sukarno.  Ia berteriak untuk memberi semangat rakyatnya. Ia berteriak juga untuk mengganyang musuh-musuh negara. Jika konteksnya adalah membakar semangat rakyat, maka Bung Karno adalah seorang orator ulung. Bahkan paling unggul pada zamannya. Sebaliknya, jika ia berteriak karena terinjak dan teraniaya harga dirinya sebagai presiden dan kepala negara, maka Sukarno adalah presiden paling berani yang pernah hidup di atas bumi ini.

“Inggris kita linggis! Amerika kita setrika!”, atau “Go to hell with your aid” yang ditujukan kepada Amerika.

“Malaysia kita ganyang. Hajar cecunguk Malayan itu! Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat itu”, yang ini saat Indonesia berkonfrontasi dengan di negara boneka bernama Malaysia.

Bukan hanya itu. Organisasi dunia yang bernama Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pun pernah dilawan. Tanggal 20 Januari 1965, Bung Karno menarik Indonesia dari keanggotaan PBB. Ini karena ketidak-becusan PBB dalam menangani persoalan anggota-anggotanya, termasuk dalam kaitan konflik Indonesia – Malaysia. Ada enam alasan yang tak bisa dibantah siapa pun, termasuk Sekjen PBB sendiri, yang menjadi dasar Indonesia menarik diri dari keanggotaan PBB.

Pertama, soal kedudukan PBB di Amerika Serikat. Bung Karno mengkritik, dalam suasana perang dingin Amerika Serikat dan Uni Sovyet lengkap dengan perang urat syaraf yang terjadi, maka tidak sepatutnya markas PBB justru berada di salah satu negara pelaku perang dingin tersebut. Bung Karno mengusulkan agar PBB bermarkas di Jenewa, atau di Asia, Afrika, atau daerah netral lain di luar blok Amerika dan Sovyet.

Kedua, PBB yang lahir pasca perang dunia kedua, dimaksudkan untuk bisa menyelesaikan pertikaian antarnegara secara cepat dan menentukan. Akan tetapi yang terjadi justru PBB selalu tegang dan lamban dalam menyikapi konflik antar negara. Indonesia mengalami dua kali, yakni saat pembebasan Irian Barat, dan Malaysia. Dalam kedua perkara itu, PBB tidak membawa penyelesaian, kecuali hanya menjadi medan perdebatan. Selain itu, pasca perang dunia II, banyak negara baru, yang baru saja terbebas dari penderitaan penjajahan, tetapi faktanya dalam piagam-piagam yang dilahirkan maupun dalam preambule-nya, tidak pernah menyebut perkataan kolonialisme. Singkatnya, PBB tidak menempatkan negara-negara yang baru merdeka secara proporsional.

Ketiga, Organisasi dan keanggotaan Dewan Keamanan mencerminkan peta ekonomi, militer dan kekuatan tahun 1945, tidak mencerminkan bangkitnya negara-negara sosialis serta munculnya perkembangan cepat kemerdekaan negara-negara di Asia dan Afrika. Mereka tidak diakomodir karena hak veto hanya milik Amerika, Inggris, Rusia, Perancis, dan Taiwan. Kondisi yang tidak aktual lagi, tetapi tidak ada satu orang pun yang berusaha bergerak mengubahnya.

Keempat, soal sekretariat yang selalu dipegang kepala staf berkebangsaan Amerika. Tidak heran jika hasil kebijakannya banyak mengakomodasi kepentingan Barat, setidaknya menggunakan sistem Barat. Bung Karno tidak dapat menunjung tinggi sistem itu dengan dasar, “Imperialisme dan kolonialisme adalah anak kandung dari sistem Negara Barat. Seperti halnya mayoritas anggota PBB, aku benci imperialisme dan aku jijik pada kolonialisme.”

Kelima, Bung Karno menganggap PBB keblinger dengan menolak perwakilan Cina, sementara di Dewan Keamanan duduk Taiwan yang tidak diakui oleh Indonesia. Di mata Bung Karno, “Dengan mengesampingkan bangsa yang besar, bangsa yang agung dan kuat dalam arti jumlah penduduk, kebudayaan, kemampuan, peninggalan kebudayaan kuno, suatu bangsa yang penuh kekuatan dan daya-ekonomi, dengan mengesampingkan bangsa itu, maka PBB sangat melemahkan kekuatan dan kemampuannya untuk berunding justru karena ia menolak keanggotaan bangsa yang terbesar di dunia.”

Keenam, tidak adanya pembagian yang adil di antara personal PBB dalam lembaga-lembaganya. Bekas ketua UNICEF adalah seorang Amerika. Ketua Dana Khusus adalah Amerika. Badan Bantuan Teknik PBB diketuai orang Inggris. Bahkan dalam persengketaan Asia seperti halnya pembentukan Malaysia, maka plebisit yang gagal yang diselenggarakan PBB, diketuai orang Amerika bernama Michelmore.

Bagi sebagian kepala negara, sikap keluar dari PBB dianggap sikap nekad. Bung Karno tidak hanya kelua dari PBB. Lebih dari itu, ia membentuk Konferensi Kekuatan Baru (Conference of New Emerging Forces/ Conefo) sebagai alternatif persatuan bangsa-bangsa selain PBB. Konferensi ini sedianya digelar akhir tahun 1966. Langkah tegas dan berani Sukarno langsung mendapat dukungan banyak negara, khususnya di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan. Bahkan sebagian Eropa juga mendukung.

Sebagai tandingan Olimpiade, Bung Karno bahkan menyelenggarakan Ganefo (Games of the New Emerging Forces) yang diselenggarakan di Senayan, Jakarta pada 10 – 22 November 1963. Pesta olahraga ini diikuti oleh 2.250 atlet dari 48 negara di Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika Selatan, serta diliput sekitar 500 wartawan asing.

Bung Karno dengan Conefo dan Ganefo, sudah menunjukkan kepada dunia, bahwa organisasi bangsa-bangsa tidak mesti harus satu, dan hanya PBB. Bung Karno sudah mengeluarkan terobosan itu. Sayang, konspirasi internasional (Barat) yang didukung segelintir pengkhianat dalam negeri (seperti Angkatan ’66, sejumlah perwira TNI-AD, serta segelintir cendekiawan pro Barat, dan beberapa orang keblinger), berhasil merekayasa tumbangnya Bung Karno. Wallahu a’lam.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada November 14, 2016 inci Uncategorized

 

Tinggalkan komentar